Gara-Gara Galau
(Karya : Rosyta Sudrajat Sutan)
Cinta
… sebuah kata yang sulit untuk diartikan. Benar, tak ada kata yang pasti untuk
mengartikannya, karena cinta adalah sebuah rasa yang tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Kadang kala cinta membuat kita bahagia dan kadang pula cinta membuat
kita menangis. Begitu pun dengan Alya. Ia menangis meratapi cinta pertamanya.
Ia baru saja diputuskan oleh pacarnya. Sang pacar merasa Alya begitu fokus
dengan belajar, sehingga ia merasa terabaikan. Hal tersebut tentunya membuat
Alya dilanda KEGALAUAN.
“Kamu
kenapa dari tadi kok cemberut?” tanya ibu yang sedari tadi memperhatikan Alya.
“Lagi galau bu,
gara-gara diputusin Akbar” jawab Alya lirih.
“Loh emang kapan
diputusinnya?” ibu terkejut mendengar hal itu.
“Pas sore bu” kata Alya
dengan nada sedih.
“Ngga usah dipikirin,
lagian dianya juga belum tentu mikirin kamu nak”
“Ibu
kan tahu kalau Akbar itu cinta pertamanya Alya. Hiks..hiks..” langsung saja
Alya menghambur ke pelukan ibunya. Rasa sakit itu membuat Alya menitikkan air
matanya.
Pelukan
hangat ini bagaikan sandaran bagi Alya. Ia lalu menceritakan semuanya kepada sang
ibu. Setelah Alya merasa tenang, ibu pun melepaskan pelukannya. Kemudian diubah
posisi Alya sehingga berhadapan dengannya.
“Ibu
kan sudah bilang jangan pacaran dulu, lagian sebentar lagi kamu akan menghadapi
ujian sekolah. Hmm.. coba kamu pelan-pelan ngelupainnya pasti bisa” ujar ibu
menyemangati anaknya itu.
“Baik
bu, Alya akan coba. FIGTHING !!” sorak Alya menyemangati dirinya sendiri.
***
Matahari kini sudah
menampakkan sinarnya. Terlihat seorang gadis yang sudah rapi dengan seragam
sekolah yang melekat pada tubuhnya. Rambut hitam sebahu, ia biarkan terurai
begitu saja. Sebelum pergi ke sekolah, Alya tak lupa untuk pamit kepada ibunya.
“Bu, Alya berangkat
dulu ya” kata Alya seraya mencium tangan
ibu.
“Iya nak. Hati-hati di
jalannya” ibu mengusap sebentar puncak kepala Alya.
“Assalammu’alaikum”
pamit Alya.
“Wa’alaikumsalam” jawab
ibu.
Setelah Alya pergi ,
ibu masih tetep berdiri di pintu sambil melihat anaknya. Ia hanya tersenyum
melihat anaknya itu, yang sesekali membalikkan badan tuk melihat dirinya.
“Awas Alya di depan
kamu ada tiang listrik” teriak ibu melihat Alya yang akan menabrak tiang
listrik.
BRUGGGHH..
“Aww..” ringis Alya
kesakitan. Ibu yang melihatnya tertawa kecil melihat kecerobohan Alya. Tendengar
suara orang yang tertawa terbahak-bahak. Alya pun menyadari dirinya sedang
ditertawai oleh semua orang. Segera ia berlari dengan wajah yang memerah layaknya kepiting rebus karena
menahan malu.
Setibanya di sekolah,
suasana kelas begitu ribut. Ya inilah kebiasaan anak kelas 8A. Ada yang
berlari-lari, bernyanyi, mencoret-coret papan tulis dan bahkan ada pula yang
sedang mengerjakn pr.
“Pagi Fitri” sapa Alya
kepada teman sebangkunya.
“Pagi Alya” balas
Fitri.
“Sekarang tugas cuman
fisika doang kan?” tanya Alya kepada Fitri.
“Ditambah ulangan
sejarah, Al” jawab Fitri.
“Hah ulangan? Ya ampun
kok aku bisa lupa sih -_-” ungkap Alya sambil menggaruk kepalanya yang tak
gatal.
“Jangan bilang kamu
lupa gak ngapalin, gara-gara ngegalauin
si Akbar sampe malem” selidik Fitri. Fitri dapat melihat dari mata Alya yang
tampak sembab. Alya menganggukkan kepalanya. Walaupun Alya murid yang pandai di
kelasnya, namun ia terkadang ceroboh dan pelupa.
“Kamu mau nyontek gak,
Al? Lagian aku juga belum ngapalin nih” tanya Fitri.
“Ya ngga bakalan, Fit.
Idihh.. aku kira kamu udah ngapalin” Alya menggelangkan kepalanya mendengar
ucapan temannya itu. Ia mengira Fitri sudah menghapal untuk ulangan hari ini. Sedangkan
Fitri hanya cengengesan memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Tapi Al, apa kamu nggak
malu kalau nilai kamu kecil? Lagian kamu kan pintar” kata Fitri sambil menatap
sahabatnya itu. Alya tampak bimbang dengan hatinya.
“Iya juga” pikiran Alya
kini mulai kacau.
“Apa boleh buat yuk
kita nyontek” ajak Fitri.
“Tapi, Fit. Aku takut,
soalnya aku gak pernah nyontek kalo ada ulangan. Beda sama kamu yang udah
berbakat dalam hal nyontek” ujar Alya sinis.
“Hihi itu hal gampang
kok. Kamu tinggal buka buku doang tapi gak boleh keliatan sama guru. Lagian gak
sedikit di kelas kita juga yang suka nyontek” jelas Fitri.
Tak terasa bel sekolah
pun berbunyi. Semua murid segera memasuki kelasnya masing-masing. Suasana kelas
yang tadi ribut, kini mulai hening tatkala seorang guru memasuki kelas 8A.
“Selamat pagi
anak-anak” sapa Bu Dina.
“Selamat pagi bu” jawab
semua siswa.
“Sesuai dengan apa yang
ibu janjikan, maka hari ini kita akan ulangan sejarah” ujar Bu Dina.
Mendengar hal itu, Alya
seketika menjadi tegang. Ia belum sama sekali menghapal untuk ulangan hari ini.
“Semoga soalnya pada gampang, aamiin” do’a Alya.
Ketika kertas ulangan
telah dibagikan, semua murid segera mengisi jawaban dari pertanyaan itu.
Berbeda dengan Alya, ia hanya menatap sendu pada lembar soal tersebut. Waktu
berlalu begitu cepat. Beberapa kali terdengar Alya menghela
nafas berat. Raut mukanya menampakkan bahwa ia tengah kesulitan. Dari 20 soal,
ia baru mengisi 5 soal. Tiba-tiba, terlintas ide untuk menyontek. “Aishh, soal
ini benar – benar membuatku pusing L. Apa aku harus
melakukannya?” gumam Alya seraya mengacak-acak rambutnya.
Karena tak ada pilihan
lagi, Alya mencoba membuka buku catatan sejarahnya. Ia mengikuti tips dari
Fitri untuk berhati-hati dalam menyontek. Halaman demi halaman terus Alya buka
seraya menyalin jawabannya. Karena terlalu sibuk dengan menyontek, Alya tak
menyadari bahwa Bu Dina tengah memperhatikan dirinya. Ketika Bu Dina bangun
dari duduknya dan mulai berkeliling, Alya masih saja asyik dengan dunianya
sendiri.
“ARGGHH..” teriak Alya
keras ketika merasa ada yang menjewer telinganya.Sontak hal itu membuat seisi
kelas memperhatikannya. Ketika Alya memalingkan wajahnya, seketika ia
membelakkan matanya melihat Bu Dina sedang menjewernya.
“Alya kamu nyontek? Ibu
benar-benar gak nyangka sama kamu” ungkap Bu Dina seraya melepas jewerannya
pada Alya. Terlihat raut kekecewaan pada muka Bu Dina. Sedangkan Alya, ia hanya
menundukkan kepalanya.
“Apa kamu sering
nyontek setiap ulangan?” tanya Bu Dina.
“Ngga bu” sahut Alya.
“Tapi buktinya kamu
ketahuan menyontek. Ibu sendiri jadi ragu dengan kepandaian kamu” ujar Bu Dina.
“Sebenarnya, ini
pertama kalinya bu saya nyontek. Soalnya saya lupa ngga belajar semalam
gara-gara ngegalauin mantan pacar bu” mendengar penuturan Alya, seisi kelas tertawa
terkecuali dengan Fitri.
“Apa benar begitu?”
tanya Bu Dina lagi.
“Be....” belum sempat
Alya menjawab, Fitri sudah memotong ucapannya.
“Iya bu, apa yang dikatakan Alya itu
benar. Sebelumnya Alya gak mau nyontek bu. Itu semua salah saya, karena telah
membujuknya untuk menyontek bu” celetuk Fitri dengan rasa bersalah.
“Jadi kamu juga sama
nyontek? Hemm.. Ibu gak habis pikir kenapa kalian mau menyontek” Bu Dina memijit
keningnya.
“Kami takut nilainya
kecil bu” ungkap Alya.
Mendengar hal itu, Bu
Dina pun terdiam. Ia kemudian menatap sendu kepada muridnya itu.
“Dengar anak-anak, ibu
hanya ingin kalian itu paham dengan materi yang ibu ajarkan. Kalau pun nilai
ulangan kecil, berarti tandanya kalian belum paham dengan materi yang telah ibu
ajarkan. Pasti ibu akan menerangkan kembali materi ini hingga kalian paham.
Kalian juga harus aktif bertanya ketika guru sedang menerangkan” nasihat Bu
Dina. Semua murid pun mendengarkan nasihat Bu Dina.
“Gara-gara cinta saja
kalian sampai lupa dengan ulangan” lanjut Bu Dina.
“Karena tanpa cinta
hidup ini terasa hampa, bu. Bagaikan upin tanpa ipin” kata seorang siswa.
Lantas seisi kelas tertawa kembali.
“Sudah – sudah sekarang
ibu mau tanya, tapi kalian harus jawab dengan jujur. Adakah yang menyontek
selain Alya dan Fitri?” tanya Bu Dina kepada semua murid.
Satu demi satu mulai
mengangkat tangannya. Bu Dina mulai menghitung berapa jumlah murid yang
menyontek. Beliau begitu terkejut, ketika mengetahui bahwa dari 41 siswa hanya
17 orang yang tidak menyontek.
“Ibu sangat terkejut
mengetahui akan sebanyak ini yang menyontek. Ibu tak ingin kalian menjadi kebiasaan
menyontek. Karena kalau sudah menjadi kebiasaan, pasti akan sulit untuk mengubahnya
Sebenarnya nilai itu gampang untuk diubah berbeda dengan sifat yang sangat sulit
untuk diubah. Sama seperti halnya menyontek” ujar Bu Dina.
“Kalau kita orang
cerdas, pasti kita akan belajar dari kesalahan. Kali ini ibu maafkan kesalahan
kalian. Ibu harap kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali” lanjut Bu
Dina.
Alya yang mendengar
penuturan Bu Dina, merasa sangat menyesal. Jika ibunya tahu mengenai hal ini,
pasti Alya akan dimarahi. Alya tidak ingin untuk mengulangi perbuatannya itu.
Pengalamannya kali ini, tak akan pernah ia lupakan.
END